Festival Bau Nyale 2024
Festival Bau Nyale 2024 memukau pengunjung dengan keindahan budaya dan adat Sasak yang khas, digelar di kawasan The Mandalika pada Kamis, (29/2). Festival Pesona Bau Nyale menjadi momentum untuk mempersembahkan keindahan budaya dan adat Sasak kepada dunia, untuk memperkenalkan dan melestarikan warisan budaya yang kaya di tengah-tengah kemajuan zaman. Dari enam rangkaian acara Festival Pesona Bau Nyale 2024 yang diselenggarakan, tiga di antaranya berlangsung di The Mandalika. Dengan menghadirkan berbagai pertunjukan seni tradisional mulai dari pertunjukan Peresean yang telah digelar di area kawasan The Mandalika pada (25-27/2). Karnaval Budaya yang dimeriahkan 1000 Putri Mandalika di Kuta Beach Park pada (28/2), serta puncak acara festival yang berlangsung di Bukit Seger, The Mandalika pada (29/1).
Festival Bau Nyale 2024 ini menjadi sarana untuk mempromosikan pariwisata dan melestarikan nilai-nilai budaya masyarakat Lombok Tengah. Dengan jumlah kunjungan mencapai 50.000 pengunjung, festival ini diharapkan dapat menjadi magnet bagi wisatawan dari seluruh penjuru dunia.”
Para pengunjung disuguhkan dengan keseruan pertunjukan Peresean yang diikuti dari berbagai paguyuban di Lombok yang berlangsung di area kawasan The Mandalika. Peresean merupakan pertarungan antara dua lelaki yang bersenjatakan tongkat rotan dan perisai kulit kerbau yang tebal dan keras. Tradisi ini merupakan seni tari asli Suku Sasak, Lombok.
Sementara itu, Karnaval Budaya Bau Nyale menjadi highlight acara, dengan menampilkan seribu Putri Mandalika di area Kuta Beach Park (KBP). Barisan karnaval dibuka oleh lima finalis Putri Mandalika 2024, hingga kontingen dari berbagai lembaga dan komunitas yang memamerkan kekayaan budaya suku Sasak. Karnaval ini tidak hanya menghibur, tetapi juga menjadi ajang yang memperkokoh solidaritas dan kebersamaan di antara berbagai elemen masyarakat.
Puncak acara Festival Pesona Bau Nyale, yang berlangsung di Bukit Seger, Mandalika, menjadi penutup yang sempurna untuk perayaan ini.
Festival Bau Nyale, adalah upacara tahunan masyarakat Lombok yang menampilkan kekayaan adat dan tradisi suku Sasak untuk menangkap cacing laut atau nyale. Nyale muncul setahun sekali di pantai selatan Pulau Lombok. Penduduk setempat mempercayai nyale memiliki tuah yang dapat mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat sekitarnya.
Sejarah Bau Nyale Di Lombok
Masyarakat setempat meyakini bahwa nyale merupakan jelmaan dari putri mandalika, yakni anak dari pasangan raja tonjang beru dan dewi seranting dari kerajaan tonjang beru dalam hikayat kuno suku sasak.
Putri mandalika dilakonan sebagai seorang sosok wanita cantik yang diperebutkan oleh banyak pangeran dari berbagai kerajaan di Lombok, seperti kerajaan Johor, kerajaan Lipur, Pane, Kuripan, Daha dan kerajaan Beru.
Tidak ingin terjadi kekisruhan di kemudian hari, apabila sang putri memilih salah satu di antara pangeran, putri mandalikan pun menolak semua pinangan yang datang dan memilih untuk mengasingkan diri. Pada satu kesempatan, putri mengundang seluruh pangeran dan rakyat Pantai Kuta pada tanggal 20 bulan sepuluh, tepat sebelum masuk waktu subuh.
Semua undangan pun ramai menghadiri lokasi yang dimaksud, kemudian sang putri yang dikawal ketat oleh prajurit kerajaan pun muncul di lokasi, kemudian berhenti dan berdiri pada sebuah batu yang ada di pinggir pantai.
Tidak lama kemudian sang putri pun terjun ke dalam laut dan menghilang tanpa jejak. Seluruh undangan sibuk mencari, namun tidak ditemukan. Yang mereka temukan hanya sekumpulan cacing laut, yang kemudian diyakini sebagai jelmaan putri dan menjadi cikal bakal bau nyale.
Dan bagi sebagian besar orang, nyale atau cacing laut bukan sekedar cacing. Nyale sendiri bisa menjadi berbagai jenis hidangan yang istimewa. Salah satu olahan yang sangat tersohor dari bahan nyale adalah pepes nyale dan biasanya dibakar dengan daun pisang.
Baca Juga : Pesona Pantai Pink
Prosesi Adat Bau Nyale
Prosesi tradisi bau nyale sendiri biasanya dimulai dengan diadakannya sangkep wariga, yakni pertemuan para tokoh adat untuk menentukan hari baik atau tanggal 20 bulan 10 dalam penanggalan sasak, mengenai kapan saat nyale tersebut diadakan.
Kemudian dilanjutkan dengan pepaosan, yakni pembacaan lontar yang dilakukan oleh para mamik atau tokoh adat sehari sebelum pelaksanaan tradisi bau nyale yang diadakan di bangunan tradisional dengan empat tiang, yang disebut dengan bale sakepat.
Pembacaan lontar yang dilakukan para mamik ini juga diiringi dengan menembangkan beberapa pupuh atau nyanyian tradisional dengan urutan tembang yang diawali dari pupuh smaran dana, pupuh sinom, pupuh maskumambang dan ditutup dengan pupuh ginada.
Dalam acara ini ada beberapa piranti yang akan digunakan, diantaranya daun sirih, kapur, kembang setaman dengan Sembilan jenis bunga, dua buah gunungan yang berisi jajanan tradisional khas sasak dan berbagai buah lokal.
Selanjutnya pada dini hari sebelum masyarakat mulai turun ke laut untuk bau nyale, para tokoh adat akan terlebih dulu menggelar sebuah rangkaian upacara adat yang biasanya disebut dengan Nede Rahayu Ayuning Jagad.
Dalam upacara ini, para tetua adat di Lombok akan berkumpul dengan posisi melingkar dan di tengah-tengah mereka diletakkan jajanan serta buah lokal yang berbentuk gunungan. Setelah prosesi ini selesai, tradisi bau nyale pun siap dilakukan.